Dalam rangka suasana Imlek dan Capgomeh, komunitas Napaktilas Peninggalan Budaya, mengadakan sebuah napak tilas dengan Tema “Menapaki Jalur Naga” di kota Bogor. Napak Tilas ini dengan menelusuri peninggalan-peninggalan budaya dan sejarah di daerah pecinan Suryakencana Bogor.
Dalam sejarahnya Jalur Naga adalah sebuah Jalur yang membentang dari Anyer hingga Panarukan. Kurang Lebih 1000 KM, jalan Raya Pos atau de Groote Postweg, dibangun pada masa kolonial Belanda untuk melindungi Pulau Jawa dari serangan musuhnya. Dibangun dari tahun 1808 sampai 1910, Jalan Raya Pos melewati berbagai kota di Pulau Jawa seperti Batavia (Jakarta), Bandung, Cirebon, Surabaya dan lainnya. Di Bogor, bagian dari jalan tersebut lebuh dulu dikenal sebagai sebuah pusat perekonomian kota yang di beri nama Handelstraar, cikal bakal dari Jalan Suryakencana.
Napak Tilas Jalur Naga ini akan di ulas oleh Netgram berawal dari Lawang Suryakencana.
Lawang Suryakancana
Lawang Suryakencana atau Gerbang Suryakencana merupakan pintu gerbang memasuki daerah Pecinan di kota bogor yang saat ini telah menjadi Objek Wisata Budaya & Kulineran.
Vihara Dhanagun
Vihara Dhanagun atau Vihara Hok Tek Bio diperkirakan dibangun pada akhir abad ke-18 ketika masyarakat etnis Tionghoa telah cukup banyak yang bermukim di sekitar pasar Bogor.
Nama Hok Tek Bio berasal dari kata Hok yang berarti “rejeki”, Tek yang berarti “kebajikan” dan Bio yang berarti “Bangunan Suci”, sehingga Hok Tek Bio bisa diartikan sebagai Rumah Ibadah yang berlimpah rejeki dan kebajikan.
Sedangkan nama Vihara Dhanagun yang disusun dari kata Dhana yang berarti “Beramal” atau “Kebajikan” dan kata Gun yang berarti “Sifat, sehingga Vihara ini berarti Vihara yang memiliki sifat beramal atau sifat kebajikan (Chusna, 2009).
Menurut informasi, Vihara Dhanagun telah berdiri di depan pasar Bogor ketika terjadi kebakaran besar pada tahun 1827 yang menghanguskan lebih dari 90 rumah.
Rumah Luitenant Lie Beng Hok
Rumah ini terletak diujung Jalan Klenteng (Klentengweg). Lokasi rumah berada di sebelah timur Plaza Bogor, yang dulunya merupakan Pasar Bogor.
Rumah Luitenant China ini adalah milik Luitenant (Letnan) Lie Beng Hok yang menjabat dari tahun 1912-1913 semasa kapiten Tan Tjoen Tjiang.
Letnan yang dimaksud disini bukanlah merujuk pada jabatan letnan dalam kepangkatan militer atau kepolisian meski memang menjiplaknya dari situ, melainkan merujuk pada jabatan yang diberikan kepada orang Tionghoa yang memiliki kedudukan di tengah etnis Tionghoa untuk memimpin sekumpulan etnis tersebut. Pemberi jabatan itu adalah Pemerintah Hindia Belanda. Pada zaman itu, semua etnis yang tinggal di Hindia Belanda ditempatkan pada cluster-cluster agar Pemerintah Hindia Belanda mudah mengontrolnya.
Hotel Pasar Baroe
Hotel Pasar Baroe adalah bangunan dengan model arsitektur gaya Indis, kombinasi gaya Tionghoa, Eropa dan Lokal, yang memiliki 2 lantai. Hotel ini terletak di Pasar Bogor. Kemungkinan berdiri pada abad ke-19 setelah jalur kereta api Batavia-Buitenzorg dibangun pada tahun 1881.
Pada saat itu di Bogor terdapat 4 hotel yang menjadi tempat persinggahan pelancong, yaitu Hotel Believue, Hotel Dibett dan Hotel di Chemin yang sering didatangi turis dari eropa, serta Hotel Pasar Baroe bagi pelancong Arab dan Tionghoa. Dari balik kaca lantai dua hotel yang didominasi material kayu ini, para pengunjung dapat menikmati keindahan pemandangan Gunung Salak, Gunung Pangrango dan Gunung Pancar.
Inskripsi Bongpay Tertua di Bogor
Inskripsi ini terdapat tidak jauh dari pusat keramaian pecinan Suryakencana, namun tidak banyak yang tahu akan keberadaannya, padahal bongpay ini merupakan inskripsi tertua sejauh ini yang ditemukan.
Inskripsi ini pernah dibaca oleh David Kwa yang mana dari pembacaan itu diperoleh informasi bahwa yang dikuburkan disini adalah leluhur keluarga bermarga Tjio dan bertarikh tahun 1852. Keturunan terakhir diketahui mengurusi bong ini adalah Tjio Wie Thay atau dikenal sebagai Masagung, pendiri toko buku dan penerbit Gunung Agung yang merupakan keturunan generasi ke-enam. Semenjak meninggalnya Masagung pada tahun 1990, bong ini menjadi tak terurus dan akhirnya terlupakan, padahal inskripsi pada bongpaynya sejauh ini merupakan yang tertua yang pernah ditemukan di Kota Bogor.
Klenteng Pan Kho Bio
Klenteng Pan Kho Bio di Pulo Geulis merupakan Kelenteng tertua di Kota Bogor yang bukan saja sebagai tempat kegiatan keagamaan Tridharma (konghucu, Tao dan Budha) tetapi juga sebagai situs kepurbakalaan dari tradisi megalitikum.
Beberapa peninggalan masa lalu yang terdapat di dalam kelenteng ini berupa batu monolit besar, batu menhir dan juga batu persegi yang memiliki lubang yang diduga merupakan sebuah yoni dari masa klasik (hindu-budha).
Rumah Abu Keluarga Thung
Rumah abu keluarga Thung berlokasi di jalan Suryakencana no.184 Kelurahan Gudang, Kecamatan Bogor Tengah. Bangunan ini terlihat hanya memiliki tiga pintu besar tanpa jendela dan pagar setengah badan yang terlihat selalu dikunci. Bangunan ini di kelola langsung oleh keluarga Thung yang rumahnya saling berdekatan..
Rumah ini juga merupakan bagian dari Keluarga Thung yang digunakan untuk menyimpan abu jenazah leluhur mereka. Rumah abu ini didirikan oleh Kapitan Thung Tjoen Ho (1869-1922). Sebelum menjadi rumah abu, rumah ini merupakan kantor Kiong Seng Liong dari 9 Thung bersaudara. Bangunan yang terkesan tertutup ini sering dikunjungi oleh keluarga besar Thung pada bulan-bulan tertentu sampai sekarang..